FOKUS – Sindikat penipuan online ternyata bukan main-main. Mereka bekerja sangat terorganisir dan memiliki akses ke data lengkap calon korban, mulai dari nama, nomor telepon, hingga informasi sensitif seperti nomor BPJS Kesehatan dan NPWP. Lalu, bagaimana data ini bisa bocor ke tangan pelaku?
Daftar Isi
Perjalanan Inayah: Dari Pekerja Migran ke Sindikat Penipuan Online
Semua berawal dari sebuah desa di Jawa Barat. Seorang perempuan muda, sebut saja Inayah (bukan nama asli), memulai hidupnya sebagai pekerja migran sejak usia 18 tahun. Awalnya ia berangkat secara resmi lewat jalur pemerintah. Namun nasib berkata lain setelah ia terkena penyakit hipertiroid yang membuat tubuhnya lemah dan sulit bekerja.
Kesulitan itulah yang membuat Inayah menerima tawaran kerja di Kamboja secara ilegal. Di sana, dia terlibat dalam sebuah “perusahaan” yang berlokasi di kompleks tertutup di Phnom Penh. Tapi ini bukan perusahaan biasa. Ini adalah pusat operasi scamming alias penipuan online skala besar.
“Perusahaan” Penipu dengan Ratusan Ribu Data
Menurut pengakuan Inayah kepada FOKUS TV, bisnis utamanya adalah menipu korban berdasarkan data pribadi yang sudah dimiliki. Data itu tidak sembarangan. Di dalam sistem komputer mereka, tersedia:
- Nama lengkap calon korban
- Nomor telepon dan alamat rumah
- Nomor BPJS Kesehatan
- Nomor anggota PT Taspen
- NPWP dari DJP
- Nomor pelanggan PLN Mobile
Inayah mengungkapkan bahwa data tersebut dibeli dari warga negara Indonesia yang secara rutin datang menyetor informasi ke bos mereka yang berkewarganegaraan Cina. Jumlah data? Bisa mencapai jutaan.
Bagaimana Modus Penipuan Dilakukan?
Pola Kerja Harian yang Sistematis
Setiap hari, ratusan pekerja di dalam kompleks itu menghubungi korban menggunakan skrip yang sudah disiapkan. Pekerja hanya perlu klik data calon korban, dan langsung tersambung ke nomor teleponnya.
Sistem mereka memberi label warna:
- Hijau: Korban menjawab panggilan
- Kuning: Aktif tapi tidak menjawab
- Merah: Nomor sudah tidak aktif
Skrip Palsu yang Terorganisir
Mereka menyamar sebagai pegawai dari institusi resmi, seperti PT Taspen atau BPJS. Nama, tanggal lahir, dan nomor peserta disebutkan untuk memancing kepercayaan korban. Setelah korban lengah, mereka dikirimi tautan APK (Android Package Kit) yang tampaknya sah. Tapi begitu diklik, seluruh isi ponsel korban langsung dikuasai.
Penipuan Dilanjutkan oleh Tim Khusus
Tugas Inayah selesai di tahap itu. Selanjutnya, tim teknis akan masuk dan membobol rekening korban. Dalam sehari, sindikat ini bisa menghasilkan hingga Rp900 juta dari penipuan daring ini.
Korban Nyata dan Penangkapan
Pada Januari 2025, Inayah dan kekasihnya ditangkap di Jakarta. Mereka diduga menipu seorang pensiunan ASN peserta PT Taspen dengan kerugian Rp304 juta.
Ajun Komisaris Besar Alvian Yunus dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menjelaskan, metode ini dikenal sebagai social engineering. “Dengan data pribadi dan perbankan, pelaku sangat mudah mengakses uang korban,” ujarnya, 11 Juni 2025.
Kebocoran Data: Masalah Serius yang Terus Terulang
Data Bocor di Dark Web, Lembaga Terkait Bungkam
Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya menegaskan bahwa scamming terjadi karena kebocoran data. Menurutnya, lembaga seperti BPJS dan DJP pernah mengalami kebocoran besar yang datanya dijual bebas di Internet.
Contoh kasus:
- Mei 2021: 279 juta data pengguna BPJS Kesehatan dijual di RaidForums.
- September 2024: 6 juta data NPWP bocor dan dijual seharga Rp150 juta.
BPJS Kesehatan dan PLN mengklaim tidak terjadi kebocoran dari internal. Tapi hingga kini, beberapa instansi masih memilih diam saat dimintai konfirmasi oleh FOKUS TV.
Langkah Perlindungan: Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?
FOKUS TV mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap modus penipuan yang makin canggih:
- Jangan klik tautan mencurigakan di pesan WhatsApp/SMS
- Hindari membagikan data pribadi sembarangan
- Verifikasi ulang jika ada yang mengaku dari instansi resmi
- Gunakan aplikasi keamanan ponsel dan antivirus
- Laporkan nomor mencurigakan ke pihak berwajib atau ke situs aduan Kominfo
Penutup
Kasus seperti yang dialami Inayah memperlihatkan bahwa data pribadi masyarakat Indonesia sangat rentan. Kejahatan siber kini bukan lagi perkara “hacker luar negeri”, tapi bisa dilakukan oleh orang yang tinggal di sebelah rumah kita. Mari lebih bijak menjaga data pribadi dan terus mendesak pemerintah agar memperketat sistem keamanan data di lembaga publik.