Dalam setiap jejak arsitektur dan struktur bangunannya, Masjid Agung Banten menyimpan kisah yang kaya akan sejarah dan budaya. Sebagai salah satu warisan monumental dari Kesultanan Banten, masjid ini tidak hanya menjadi pusat peribadatan tetapi juga simbol kejayaan Islam di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan mengupas tuntas Sejarah Masjid Agung Banten, mengungkap bagaimana bangunan megah ini berdiri dan bertahan melalui perpaduan arsitektur yang mencerminkan kolaborasi budaya Jawa, Cina, dan Eropa.
Daftar Isi
Dibangun pada tahun 1566 M oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Masjid Agung Banten menjadi saksi bisu dari perkembangan kerajaan Banten yang mencakup empat komponen utama: istana, alun-alun, pasar, dan masjid itu sendiri. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana Raden Sepat dari Majapahit, Tjek Ban Tjut dari Cina, dan Hendrik Lucaz Cardeel dari Belanda berkontribusi pada keunikan arsitektur masjid ini.
Selain itu, kita akan melihat bagaimana perpaduan budaya ini tercermin dalam detail-detail bangunan, dari mimbar kuno hingga menara yang tinggi menjulang. Kita juga akan membahas makna filosofis yang tersembunyi di balik arsitektur menara dan bangunan Tiamah yang dulunya digunakan untuk diskusi keagamaan.
Sebagai tempat wisata religius, sejarah, pendidikan, dan budaya, Masjid Agung Banten kini menjadi tujuan utama bagi ribuan peziarah dan wisatawan. Melalui artikel ini, kita akan memahami lebih dalam bagaimana masjid ini bukan hanya pusat spiritual tetapi juga sarana menginternalisasi nilai-nilai sejarah dan budaya yang kaya.
Mari kita bersama-sama menelusuri jejak Sejarah Masjid Agung Banten dan menemukan bagaimana setiap detailnya menceritakan kisah tentang masa lalu yang gemilang dan perpaduan budaya yang harmonis.
Perkembangan Islam di Banten dan Komponen Utama Kerajaan
Dalam sejarah perkembangan Islam di Banten, pembangunan kerajaan melibatkan empat komponen utama yang saling mendukung. Pertama, istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal para raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, alun-alun sebagai pusat kegiatan rakyat. Keempat, pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Masjid Agung Banten: Simbol Kejayaan Kesultanan
Masjid Agung Banten didirikan pada tahun 1566 M ketika Maulana Hasanuddin menjabat sebagai Sultan Banten pertama (1552-1570). Masjid ini merupakan warisan kesultanan Banten yang masih berdiri kokoh hingga sekarang. Seperti masjid-masjid lain di Nusantara, Masjid Agung Banten memiliki denah segi empat dengan rancang bangun yang unik. Arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur Jawa, Cina, dan Eropa.
Arsitek Internasional di Balik Pembangunan Masjid
Pembangunan Masjid Agung Banten melibatkan tiga arsitek dari negeri yang berbeda. Raden Sepat adalah arsitek utama dari Majapahit yang juga menukangi Masjid Cirebon. Tjek Ban Tjut, arsitek asal Cina, dan Hendrik Lucaz Cardeel dari Belanda. Atas jasa-jasa mereka, Tjek Ban Tjut dianugerahi gelar bangsawan dari kesultanan dengan nama Pangeran Adiguna. Sedangkan, Hendrik Lucaz Cardeel yang kemudian memeluk Islam mendapatkan gelar Pangeran Wiraguna.
Ciri Khas Arsitektur Lokal oleh Raden Sepat
Bentuk arsitektur lokal karya Raden Sepat dapat dilihat dari empat tiang penyangga (saka guru) di bagian dalam bangunan masjid. Di ruangan ini terdapat mimbar kuno berukir indah yang menegaskan kuatnya nuansa lokal. Ada dua kisah berbeda seputar keberadaan mimbar ini. Cerita pertama mengatakan bahwa mimbar ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dengan huruf Arab gundul. Pendapat kedua memperkirakan mimbar itu adalah buah karya Tjek Ban Tjut.
Sentuhan Arsitektur Cina oleh Tjek Ban Tjut
Tjek Ban Tjut dikenal dengan atap masjid yang mirip dengan atap pagoda. Atap berbentuk bujur sangkar itu bertingkat lima, menyimbolkan rukun Islam. Dua atap paling atas kental dengan arsitektur Cina. Semakin rendah, atapnya semakin lebar, menaungi serambi di sisi utara dan selatan, di mana bersemayam jasad para ulama dan anggota keluarga kesultanan terdahulu.
Menara Belanda Karya Hendrik Lucaz Cardeel
Adapun karya Hendrik Lucaz Cardeel berupa menara setinggi 24 meter yang terletak di sebelah timur masjid. Bentuknya segi delapan, pintu masuk melengkung, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat. Ini adalah arsitektur khas Belanda yang awalnya bukan menara azan, tetapi menara rambu dan pengintai untuk pelabuhan Banten yang terkenal sibuk.
Makna Filosofis dari Arsitektur Menara
Beberapa berusaha memaknai bentuk menara dari sudut pandang Islam. Segi delapan disinyalir hasil pembagian dari 24 dibagi 3. Dua puluh empat adalah simbol waktu, 24 jam. Sementara 3 adalah simbol dari ibadah, ma’isyah (sumber nafkah), dan istirohah (istirahat). Pesan yang ingin disampaikan adalah agar umat Islam memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk ketiga hal tersebut, masing-masing memiliki alokasi waktu sebanyak 8 jam.
Tiamah: Paviliun Diskusi Keagamaan
Karya Hendrik Lucaz Cardeel lainnya adalah Tiamah di sebelah selatan masjid, bangunan semacam paviliun yang dahulu sering digunakan para ulama dan umara Banten untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan. Gaya Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas untuk mengatur sirkulasi cahaya dan udara. Saat ini, Tiamah digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan Kesultanan Banten.
Masjid Agung Banten: Pusat Wisata Religius dan Sejarah
Saat ini, Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Keberadaannya menjadi tujuan wisata religius, sejarah, pendidikan, dan budaya. Pada hari-hari besar Islam, seperti peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, ribuan peziarah dari dalam dan luar daerah datang untuk memperingati kelahiran Rasulullah.
Keberadaan makam ulama dan keluarga kesultanan serta museum menambah daya tarik masjid bagi masyarakat. Para peziarah datang tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga memperluas wawasan tentang sejarah perjalanan bangsa. Masjid ini bukan semata sebagai tempat ibadah, tetapi juga sarana menginternalisasi nilai-nilai sejarah dan budaya.
Dengan memahami sejarah dan arsitektur Masjid Agung Banten, kita bisa melihat bagaimana bangunan ini menjadi simbol kejayaan dan perpaduan budaya yang kuat di masa lalu. Warisan ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya toleransi dan kerjasama antarbudaya dalam membangun peradaban.