Kaisar Hirohito, atau yang lebih dikenal dengan nama anumerta Kaisar Showa, adalah kaisar Jepang ke-124 yang memerintah dari tahun 1926 hingga 1989. Ia adalah kaisar dengan masa kekuasaan terlama dalam sejarah Jepang, dan juga salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah dunia. Di bawah kepemimpinannya, Jepang mengalami berbagai peristiwa penting, mulai dari invasi ke Manchuria, perang dengan China, perang dengan Sekutu, pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki, hingga kebangkitan ekonomi pasca perang. Namun, bagaimana sosok Kaisar Hirohito sebenarnya? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kekejaman dan agresi Jepang? Bagaimana ia menghadapi perubahan besar yang terjadi di negara dan dunia? Artikel ini akan membahas tentang kehidupan dan peran Kaisar Hirohito dalam sejarah Jepang dan dunia.
Daftar Isi
Masa Kecil dan Pendidikan
Hirohito lahir pada tanggal 29 April 1901 di Istana Aoyama, Tokyo, sebagai putra pertama dari Kaisar Yoshihito (Taisho) dan Permaisuri Sadako (Teimei). Ia adalah cucu dari Kaisar Meiji, yang memimpin modernisasi Jepang pada akhir abad ke-19. Sejak kecil, Hirohito dididik secara ketat untuk menjadi penerus tahta. Ia belajar di Gakushuin Peer’s School dari tahun 1908 hingga 1914, kemudian mendapatkan pendidikan khusus untuk putra mahkota di Istana Akasaka dari tahun 1914 hingga 1921. Ia juga belajar tentang ilmu militer, sejarah, geografi, bahasa asing, agama, dan seni. Salah satu minatnya adalah biologi laut, yang ia pelajari dari ahli biologi Inggris, Sydney Gulick. Ia bahkan menulis beberapa buku tentang binatang laut, seperti The Opisthobranchia of Sagami Bay dan Some Hydrozoans of the Amakusa Islands.
Pada tahun 1921, Hirohito melakukan kunjungan ke Eropa sebagai putra mahkota Jepang pertama yang pergi ke luar negeri. Ia mengunjungi Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Belgia, dan Vatikan. Ia bertemu dengan beberapa pemimpin dunia, seperti Raja George V dari Inggris, Presiden Raymond Poincare dari Prancis, dan Paus Benediktus XV. Ia juga melihat berbagai tempat bersejarah dan budaya, seperti Menara Eiffel, Louvre, Colosseum, dan Westminster Abbey. Kunjungan ini memberinya pengalaman dan wawasan baru tentang dunia barat.
Pada tahun 1924, Hirohito menikah dengan Putri Nagako Kuni, putri tertua dari Pangeran Kuniyoshi Kuni. Mereka dikaruniai tujuh orang anak: empat putri dan tiga putra. Putra pertama mereka adalah Akihito, yang kelak menjadi kaisar Jepang ke-125.
Naik Tahta sebagai Kaisar
Pada tanggal 25 Desember 1926, Hirohito naik tahta sebagai kaisar Jepang setelah ayahnya meninggal karena komplikasi penyakit mental. Ia berusia 25 tahun saat itu. Ia memilih nama era Showa, yang berarti “damai dan cerah”, untuk masa pemerintahannya. Ia juga menerima gelar resmi Tennō Heika, yang berarti “Kedaulatan Surgawi”, yang menunjukkan bahwa ia adalah keturunan dewa matahari Amaterasu.
Sebagai kaisar baru, Hirohito ingin melanjutkan modernisasi Jepang yang dimulai oleh kakeknya. Ia juga ingin menjaga hubungan baik dengan negara-negara barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Ia mendukung beberapa reformasi politik dan sosial, seperti pemberian hak pilih bagi perempuan, penghapusan sistem feodal, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ia juga mengadakan beberapa kunjungan kenegaraan ke negara-negara Asia, seperti China, Korea, dan Filipina.
Namun, tidak semua orang di Jepang setuju dengan visi Hirohito. Beberapa kelompok nasionalis dan militeris menginginkan Jepang untuk menjadi kekuatan besar yang dapat menyaingi barat. Mereka menganggap bahwa Jepang memiliki misi untuk menyebarkan budaya dan ideologi Asia Timur Raya, yang menggabungkan unsur-unsur Shinto, Konfusianisme, dan Fasisme. Mereka juga mengincar sumber daya alam dan wilayah di Asia dan Pasifik, yang dianggap sebagai “ruang hidup” bagi Jepang. Mereka sering melakukan aksi-aksi provokatif dan radikal, seperti pembunuhan terhadap pejabat sipil dan militer, kudeta militer, dan invasi ke negara-negara tetangga.
Hirohito berada dalam posisi yang sulit antara mempertahankan otoritasnya sebagai kaisar dan mengendalikan ambisi militeris. Ia sering berkonflik dengan para jenderal dan menteri yang berhaluan keras. Ia juga sering mendapat tekanan dari keluarga kerajaan dan kelompok sayap kanan untuk lebih tegas dan patriotis. Ia mencoba untuk menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan internasional, antara tradisi dan modernitas, antara kewajiban dan keinginan.
Perang dengan China dan Sekutu
Pada tahun 1931, Jepang melakukan invasi ke Manchuria, sebuah wilayah di China yang kaya akan sumber daya alam. Invasi ini dilakukan tanpa persetujuan Hirohito oleh sekelompok perwira Angkatan Darat Kwantung yang berada di sana. Mereka membentuk negara boneka bernama Manchukuo, yang dipimpin oleh Puyi, mantan kaisar China terakhir. Invasi ini menimbulkan protes dari Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk menjaga perdamaian dunia. Jepang kemudian keluar dari Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1933.
Hirohito tidak senang dengan invasi ini, tetapi ia tidak dapat menghentikannya karena takut akan reaksi militeris. Ia juga merasa bahwa Jepang membutuhkan Manchuria sebagai tameng pertahanan dari ancaman Soviet. Ia akhirnya menerima kenyataan bahwa Manchuria adalah bagian dari kekaisaran Jepang.
Pada tahun 1937, Jepang melancarkan perang skala penuh dengan China, yang dikenal sebagai Perang Tiongkok-Jepang Kedua atau Perang Sino-Jepang Kedua. Perang ini dipicu oleh Insiden Jembatan Marco Polo, sebuah bentrokan antara pasukan Jepang dan China di dekat Beijing. Perang ini berlangsung selama delapan tahun, hingga akhir Perang Dunia II. Perang ini menelan banyak korban jiwa dan harta benda di kedua belah pihak. Jepang juga melakukan berbagai kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat China, seperti pembantaian Nanking, eksperimen Unit 731, pemaksaan wanita penghibur (jugun ianfu), dan penggunaan senjata kimia dan biologis.
Hirohito mengetahui tentang perang ini dari laporan-laporan militer yang disaring dan disensor. Ia tidak mengetahui secara detail tentang keadaan sebenarnya di medan perang dan penderitaan rakyat China. Ia hanya memberikan persetujuan formal atas rencana-rencana militer yang diajukan oleh para jenderalnya. Ia jarang memberikan pendapat atau saran sendiri. Ia juga tidak pernah mengunjungi garis depan atau memberikan pidato.
Perang dengan Sekutu
Pada tahun 1940, Jepang bergabung dengan Jerman Nazi dan Italia Fasis dalam Pakta Tripartit, yang membentuk aliansi yang dikenal sebagai Poros. Jepang berharap untuk memperluas pengaruhnya di Asia dan Pasifik dengan mengalahkan negara-negara Sekutu, seperti Inggris, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis. Jepang juga ingin mengamankan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk perang, seperti minyak, karet, dan logam.
Pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang melakukan serangan mendadak terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan ini bertujuan untuk menghancurkan armada Pasifik Amerika Serikat dan mencegah intervensi mereka di Asia. Serangan ini mengejutkan dunia dan memicu pernyataan perang dari Amerika Serikat terhadap Jepang. Ini juga memulai Perang Pasifik, yang merupakan bagian dari Perang Dunia II.
Perang Pasifik berlangsung selama empat tahun, dari tahun 1941 hingga 1945. Jepang berhasil menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, seperti Filipina, Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, Burma, dan sebagian China. Jepang juga menyerang beberapa tempat di Australia, India, dan Alaska. Namun, Jepang juga menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Sekutu, terutama Amerika Serikat. Beberapa pertempuran penting antara lain adalah Pertempuran Midway, Pertempuran Guadalcanal, Pertempuran Iwo Jima, dan Pertempuran Okinawa.
Hirohito tidak banyak terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan perang. Ia hanya menerima laporan-laporan militer yang sering kali tidak akurat atau menyesatkan. Ia juga tidak dapat mengontrol para jenderalnya yang sering kali bertindak tanpa persetujuannya. Ia hanya berharap bahwa perang dapat berakhir dengan damai dan menguntungkan bagi Jepang.
Penyerahan dan Akhir Perang
Pada pertengahan tahun 1945, keadaan perang semakin tidak menguntungkan bagi Jepang. Sekutu telah berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang diduduki oleh Jepang. Sumber daya alam dan manusia Jepang juga semakin menipis. Sekutu juga melakukan serangan udara yang menghancurkan banyak kota-kota di Jepang, termasuk Tokyo.
Pada tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pertama di dunia di kota Hiroshima. Bom ini meledakkan sekitar 70 persen bangunan di kota tersebut dan menewaskan sekitar 140 ribu orang. Tiga hari kemudian, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom kedua di kota Nagasaki. Bom ini menghancurkan sekitar 40 persen bangunan di kota tersebut dan menewaskan sekitar 70 ribu orang.
Bom atom ini menimbulkan dampak yang luar biasa bagi Jepang. Banyak orang yang meninggal atau menderita akibat radiasi bom. Banyak pula yang kehilangan rumah atau keluarga mereka. Banyak pula yang merasa putus asa atau trauma akibat peristiwa ini.
Hirohito sangat terkejut dan sedih dengan pengeboman atom ini. Ia menyadari bahwa Jepang tidak memiliki pilihan lain selain menyerah kepada Sekutu. Ia juga khawatir bahwa jika perang berlanjut, rakyat Jepang akan semakin menderita dan kekaisaran Jepang akan hancur.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Hirohito memutuskan untuk menerima Pernyataan Potsdam, sebuah ultimatum yang dikeluarkan oleh Sekutu pada bulan Juli 1945 yang menuntut penyerahan tanpa syarat dari Jepang. Ia juga memerintahkan agar rekaman suaranya yang menyatakan penyerahan tersebut disiarkan kepada rakyat Jepang. Ini adalah pertama kalinya suara Hirohito didengar oleh rakyat Jepang. Rekaman ini dikenal sebagai Pidato Gyokuon-hōsō, atau Pidato Suara Permata.
Pidato ini mengejutkan dan mengguncang rakyat Jepang. Banyak yang tidak percaya atau tidak mengerti bahwa Jepang telah kalah dan menyerah. Banyak pula yang merasa marah atau sedih dengan keputusan Hirohito. Banyak pula yang melakukan bunuh diri atau protes terhadap penyerahan tersebut.
Pada tanggal 2 September 1945, Hirohito menandatangani dokumen penyerahan resmi di atas kapal USS Missouri di Teluk Tokyo. Ia didampingi oleh Perdana Menteri Kantaro Suzuki dan Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu. Ia juga menyaksikan penandatanganan dokumen tersebut oleh perwakilan Sekutu, yang dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur, panglima tertinggi Sekutu di Pasifik. Dengan demikian, Perang Dunia II secara resmi berakhir.
Perubahan dari Dewa Menjadi Manusia
Penyerahan Jepang kepada Sekutu membawa perubahan besar bagi Hirohito dan negara Jepang. Sekutu, terutama Amerika Serikat, mengambil alih pemerintahan Jepang dan melakukan reformasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Jepang. Salah satu reformasi yang paling penting adalah reformasi konstitusi.
Pada tahun 1946, Sekutu mengeluarkan rancangan konstitusi baru untuk Jepang, yang dikenal sebagai Konstitusi Showa. Konstitusi ini mengubah sistem pemerintahan Jepang dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Konstitusi ini juga menghapus klaim Hirohito sebagai keturunan dewa matahari dan mengubah statusnya menjadi “simbol negara dan persatuan rakyat”. Konstitusi ini juga memberikan hak-hak dasar kepada rakyat Jepang, seperti hak pilih, kebebasan berpendapat, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia.
Hirohito awalnya ragu-ragu untuk menerima konstitusi baru ini, karena ia merasa bahwa ia akan kehilangan otoritas dan martabatnya sebagai kaisar. Namun, ia akhirnya menyetujuinya setelah mendapat jaminan dari Sekutu bahwa ia tidak akan diadili atau diasingkan karena perannya dalam perang. Ia juga berharap bahwa konstitusi baru ini akan membawa perdamaian dan kemajuan bagi Jepang.
Pada tanggal 3 Mei 1947, Konstitusi Showa secara resmi berlaku di Jepang. Sejak saat itu, Hirohito menjadi kaisar pertama yang berkuasa di bawah konstitusi baru ini. Ia juga menjadi kaisar pertama yang berubah dari dewa menjadi manusia.
Kebangkitan Ekonomi dan Perdamaian Pasca Perang
Setelah perang berakhir, Hirohito berusaha untuk memulihkan hubungan baik dengan negara-negara dunia, terutama dengan negara-negara Asia yang pernah diduduki oleh Jepang. Ia juga berusaha untuk mempromosikan perdamaian dan kerjasama internasional. Ia melakukan beberapa kunjungan kenegaraan ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, India, Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Korea Selatan, China, dan lain-lain. Ia juga menerima beberapa tamu kenegaraan dari negara-negara tersebut di Istana Kekaisaran.
Hirohito juga mendukung kebangkitan ekonomi Jepang pasca perang. Ia memberikan dorongan moral kepada rakyat Jepang untuk bekerja keras dan berinovasi. Ia juga mengapresiasi kemajuan teknologi dan industri yang dicapai oleh Jepang. Ia bahkan menjadi orang pertama di dunia yang naik kereta peluru (Shinkansen) pada tahun 1964.
Hirohito juga peduli dengan lingkungan dan kesehatan rakyat Jepang. Ia sering melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang terkena dampak bencana alam atau polusi. Ia juga memberikan sumbangan dan dukungan kepada organisasi-organisasi kemanusiaan dan lingkungan. Ia juga melanjutkan hobi dan minatnya dalam bidang biologi laut. Ia sering mengumpulkan dan mengamati spesimen-spesimen laut dari berbagai tempat.
Meninggal dan Warisan
Pada tahun 1987, Hirohito menderita kanker usus besar yang mengancam nyawanya. Ia menjalani operasi dan perawatan intensif, tetapi kondisinya tidak membaik. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 7 Januari 1989, pada usia 87 tahun. Ia adalah kaisar Jepang dengan masa kekuasaan terlama, yaitu 62 tahun. Ia dimakamkan di Musashi Imperial Graveyard, di kota Hachiōji, Tokyo.
Hirohito meninggalkan warisan yang kompleks dan beragam bagi Jepang dan dunia. Di satu sisi, ia dianggap sebagai simbol perdamaian dan kemajuan Jepang pasca perang. Ia juga dihormati sebagai pemimpin yang bijaksana dan berwibawa, yang mampu menghadapi tantangan dan perubahan besar di zaman modern. Ia juga diakui sebagai ilmuwan dan pecinta alam yang berkontribusi bagi pengetahuan dan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, ia juga dikritik sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas kekejaman dan agresi Jepang selama perang. Ia juga dipertanyakan tentang perannya dan tanggung jawabnya dalam perang tersebut. Ia juga dianggap sebagai simbol dari sistem kekaisaran Jepang yang otoriter dan militeris, yang menindas rakyat Jepang dan negara-negara Asia lainnya.
Pendapat tentang Hirohito bervariasi di antara berbagai kelompok dan negara. Beberapa mengagumi dan menghormatinya, sementara yang lain membenci dan mencelanya. Beberapa menganggapnya sebagai dewa, sementara yang lain menganggapnya sebagai manusia biasa. Beberapa mengingatnya dengan rasa bangga, sementara yang lain dengan rasa malu.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Hirohito adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Jepang dan dunia. Ia adalah saksi dan pelaku dari berbagai peristiwa penting yang membentuk zaman modern. Ia adalah kaisar Jepang yang berubah dari dewa menjadi manusia.
Kesimpulan
Artikel ini telah membahas tentang kehidupan dan peran Kaisar Hirohito dalam sejarah Jepang dan dunia. Hirohito adalah kaisar Jepang ke-124 yang memerintah dari tahun 1926 hingga 1989. Ia adalah kaisar dengan masa kekuasaan terlama dalam sejarah Jepang, dan juga salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah dunia.
Di bawah kepemimpinannya, Jepang mengalami berbagai peristiwa penting, mulai dari invasi ke Manchuria, perang dengan China, perang dengan Sekutu, pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki, hingga kebangkitan ekonomi pasca perang. Hirohito berada dalam posisi yang sulit antara mempertahankan otoritasnya sebagai kaisar dan mengendalikan ambisi militeris. Ia mencoba untuk menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan internasional, antara tradisi dan modernitas, antara kewajiban dan keinginan.
Setelah perang berakhir, Hirohito berubah dari dewa menjadi manusia. Ia menerima konstitusi baru yang mengubah sistem pemerintahan Jepang dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Ia juga menjadi simbol negara dan persatuan rakyat. Ia berusaha untuk memulihkan hubungan baik dengan negara-negara dunia, terutama dengan negara-negara Asia yang pernah diduduki oleh Jepang. Ia juga mendukung kebangkitan ekonomi dan perdamaian Jepang pasca perang. Ia juga peduli dengan lingkungan dan kesehatan rakyat Jepang. Ia juga melanjutkan hobi dan minatnya dalam bidang biologi laut.
Hirohito meninggalkan warisan yang kompleks dan beragam bagi Jepang dan dunia. Di satu sisi, ia dianggap sebagai simbol perdamaian dan kemajuan Jepang pasca perang. Di sisi lain, ia juga dikritik sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas kekejaman dan agresi Jepang selama perang. Pendapat tentang Hirohito bervariasi di antara berbagai kelompok dan negara.
Hirohito adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Jepang dan dunia. Ia adalah kaisar Jepang yang berubah dari dewa menjadi manusia.
FAQ
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan tentang Kaisar Hirohito:
- Q: Apa nama anumerta Hirohito?
- A: Nama anumerta Hirohito adalah Kaisar Showa, yang berarti “damai dan cerah”. Nama ini dipilih oleh Hirohito sendiri untuk masa pemerintahannya.
- Q: Apa gelar resmi Hirohito sebelum dan sesudah perang?
- A: Gelar resmi Hirohito sebelum perang adalah Tennō Heika, yang berarti “Kedaulatan Surgawi”. Gelar ini menunjukkan bahwa ia adalah keturunan dewa matahari Amaterasu. Gelar resmi Hirohito sesudah perang adalah Kōgō Heika, yang berarti “Kedaulatan Kekaisaran”. Gelar ini menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara dan persatuan rakyat.
- Q: Apa hubungan Hirohito dengan Kaisar Akihito?
- A: Hirohito adalah ayah dari Kaisar Akihito, yang menjadi kaisar Jepang ke-125 setelah Hirohito meninggal pada tahun 1989. Akihito adalah putra pertama dari Hirohito dan Permaisuri Nagako.
- Q: Apa hobi dan minat Hirohito?
- A: Hirohito memiliki hobi dan minat dalam bidang biologi laut. Ia sering mengumpulkan dan mengamati spesimen-spesimen laut dari berbagai tempat. Ia juga menulis beberapa buku tentang binatang laut, seperti The Opisthobranchia of Sagami Bay dan Some Hydrozoans of the Amakusa Islands.
- Q: Apa pendapat Hirohito tentang pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki?
- A: Hirohito sangat terkejut dan sedih dengan pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki. Ia menyadari bahwa Jepang tidak memiliki pilihan lain selain menyerah kepada Sekutu. Ia juga khawatir bahwa jika perang berlanjut, rakyat Jepang akan semakin menderita dan kekaisaran Jepang akan hancur. Ia akhirnya memutuskan untuk menerima Pernyataan Potsdam dan menyatakan penyerahan Jepang kepada rakyat Jepang melalui Pidato Suara Permata.