FOKUS JURNALISTIK – Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya, Djoko Agung Heryadi, menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak bertujuan membelenggu kebebasan pers. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa UU ITE justru memberikan perlindungan bagi insan pers dalam menjalankan tugas jurnalistik berdasarkan Undang-Undang Pers. Pernyataan ini disampaikan Agung saat membuka Bimbingan Teknis (Bimtek) Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia (IKPI) di Pusdiklat Kominfo, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada Jumat (27/2/2015).
Daftar Isi
Perlindungan Jurnalis dalam UU ITE
Menurut Djoko Agung, perlindungan bagi wartawan tercantum dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dengan adanya unsur “dengan sengaja dan tanpa hak”. Agung menjelaskan bahwa dengan keberadaan frasa “tanpa hak” tersebut, wartawan dan pimpinan lembaga pers yang melaksanakan tugas jurnalistik sesuai Undang-Undang Pers tidak dapat dijerat UU ITE jika telah menerapkan kode etik jurnalistik.
“Artinya wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistiknya sesuai dengan UU No.40/1999 tentang Pers dilindungi Haknya, jika dalam tugas jurnalistiknya tersebut ada complain dari masyarakat terkait penghinaan dan atau pencemaran nama baik,” kata Agung dalam kesempatan tersebut.
Uji Materi dan Konstitusionalitas UU ITE
Agung juga memaparkan bahwa ketentuan terkait penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE telah melalui uji materi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008, permohonan pemohon ditolak. Kemudian, permohonan dengan Amar Putusan MK Nomor 2/PUU-VI/2009 tidak dapat diterima.
Kesimpulan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bersifat konstitusional. Hal ini berarti UU ITE tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Penegasan ini diperkuat lagi dengan Putusan MK Nomor 1/PUU-XIII/2015, di mana MK menyetujui penarikan kembali permohonan pemohon.
Pembatasan Konten di Ranah Siber untuk Perlindungan Masyarakat
Terkait pembatasan di ranah siber, Agung menambahkan bahwa perundang-undangan di Indonesia justru memberikan kebebasan dan melindungi hak asasi manusia (HAM) warga negara untuk mengekspresikan diri secara bertanggung jawab. Ia mencontohkan pembatasan diseminasi konten pornografi yang bertujuan melindungi anak dan menjaga moral bangsa.
Selain itu, pembatasan konten perjudian bertujuan melindungi keluarga, sementara pembatasan terkait penghinaan jelas untuk melindungi HAM warga negara. Konten yang mengandung SARA juga dibatasi untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Terakhir, berita bohong yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat juga dibatasi sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari penipuan daring.
Update Status Kejadian: Kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) atau Pelatihan untuk Pelatih (ToT) tentang Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia (IKPI) ini telah dilaksanakan pada 27-28 Februari 2015.