FOKUS SEJARAH BANTEN – Masyarakat di luar Banten sepertinya lebih familiar dengan debus. Sebagai salah satu produk budaya asli Banten, debus populer sebagai sebuah seni bela diri yang menonjolkan kekebalan tubuh terhadap sentuhan senjata tajam dan pukulan benda keras.
Debus awalnya dikembangkan sebagai sarana dakwah Islam. Pada masa kolonial, debus merupakan simbol kekuatan masyarakat setempat dalam perlawanannya terhadap penjajah. Belakangan, debus masih hadir di ruang-ruang masyarakat sebagai pertunjukan seni tradisional dan tetap menjadi identitas bagi daerah Banten.
Kesenian debus begitu erat terkait dengan ilmu bela diri pencak silat. Debus sendiri merupakan pengembangan dari pencak silat. Pemain debus pastilah menguasai ilmu pencak silat, tetapi seorang pesilat belum tentu mampu mempraktikkan debus.
Tidak mengejutkan kalau debus berkembang pesat di Banten. Nyatanya di daerah ini banyak berkembang paguron (padepokan) pencak silat. Tiga aliran yang paling banyak diikuti, seperti cimande, terumbu, dan bandrong. Memang, Cimande aslinya dikembangkan oleh masyarakat Sunda. Tapi masyarakat Banten berhasil mengadopsi dan malah ikut melestarikannya.
Sementara dua aliran silat yang lain adalah hasil pengembangan tokoh-tokoh asli Banten pada masa lalu. Meski masih simpang siur, konon dua aliran tersebut lahir dalam periode hampir berbarengan, juga sama-sama berawal dari wilayah pesisir Banten.
Tiga aliran dengan ciri khas masing-masing yang berbeda. Cimande lekat dengan karakter pertarungan jarak dekat. Terumbu berciri khas kekuatan kuda-kuda rendahnya yang berbeda dari aliran silat kebanyakan. Lalu bandrong, pencak silat yang mengutamakan kecepatan dan fleksibilitas gerak tangan dan kaki, serta teknik serangan bawah.
Sejarah pencak silat Bandrong
Sejarah pencak silat Bandrong, Silat bandrong lahir sekitar tahun 1500 Masehi, yaitu sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Tokoh yang diketahui pertama menyebarkan aliran ini adalah seorang kiai bernama Ki Agus Jo, dikenal dengan nama Ki Beji.
Ia terkenal sebagai kiai sekaligus pendekar dan merupakan guru besar bandrong yang menetap di salah satu lereng Gunung Santri.
Di antara para muridnya yang terkenal adalah Ki Sarap dan Ki Ragil yang berasal dari Kampung Gudang Batu, Waringin Kurung (Wawancara dengan Ali Rahim dan Ahmad Faroji Jauhari, 9-10 April 2012).
Pendidikan ketangkasan dan kedigjayaan itu dipusatkan di Pulo Kali dan dibina langsung oleh kedua kakak beradik Ki Sarap dan Ki Ragil.
Di sanalah mereka berdua menghabiskan masa tuanya. Setelah meninggal, mereka berdua dimakamkan di pemakaman umum di daerah Kahal wilayah Kecamatan Pulo Ampel. Hingga sekarang tempat itu dikenal dengan sebutan ”Makam Ki Kahal”.
Banyak masyarakat yang datang berziarah terutama para pesilat bandrong.
Setiap aliran pencak silat mempunyai ciri masing-masing pada setiap gerakannya.
Semua gerakan keseharian yang dilakukan oleh para pesilat bandrong merupakan gerakan bandrong.
Tetapi gerakan yang menjadi ciri khas bandrong pada umumnya adalah:
- Gerakan tangan dan kaki cenderung cepat, dan gerakannya luas.
- Menggunakan teknik bawah dengan cepat untuk menjatuhkan lawan dengan cara mengambil kaki lawan dan mengangkatnya ke atas dengan posisi kepala lawan di bawah kemudian dilemparkannya dengan jarak yang sangat jauh (Wiryono, 2005: 30).
Sekitar tahun 1920-1940 Masehi, ketika silat bandrong berada di bawah kepemimpinan guru besar Ki Marip, seorang pendekar bandrong berasal dari Pulo Kali (1880-1940 M), datang seorang tokoh persilatan Betawi dari Cempaka Putih Jakarta ke pesisir Pulo Kali Bojonegara, yang bernama Hilmi, terkenal dengan sebutan Bang Imi.
Tujuan kedatangannya ke Banten adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang persilatan Banten.
Bang Imi adalah pesilat yang menguasai silat kwitang Betawi. Dalam perkenalannya, Ki Marip dan Bang Imi bertukar jurus dalam sebuah pertarungan silat. Hanya dalam beberapa langkah Bang Imi dapat dijatuhkan oleh Ki Marip.
Dari peristiwa inilah akhirnya Ki Marip dan Bang Imi menjalin persahabatan.
Buah dari persahabatan tersebut ternyata dapat mempengaruhi aliran bandrong dengan variasi dan pendalaman jurusnya karena ada unsur silat kwitang Betawi yang menambah wacana seni yang berbeda.
Masuknya unsur-unsur dari aliran silat lain seperti Cimande, Beksi, Kung Fu, Merpati Putih, dan lain-lainnya juga menambah kekayaan jurus dan gerak dari aliran bandrong.
Sejarah Pencak Silat Bandrong yang Simpang Siur
Sejarah pencak silat bandrong masih terburai tanpa kesimpulan pasti yang mencerahkan. Setidaknya sampai kini masih terdapat dua versi mengenai asal-usulnya.
Versi pertama adalah yang paling banyak dipakai. Mengungkapkan bahwa silat bandrong muncul pertama kali pada tahun 1525, ketika itu menjelang berdirinya Kesultanan Banten.
Pencetusnya adalah seorang pendekar sekaligus kyai yang populer dengan nama Ki Beji. Ki Beji sendiri memiliki sejumlah sebutan lain, seperti Ki Agus Jo, Syeikh Abdul Fatah, dan Syeikh Abdul Kahfi.
Menurut versi ini, Ki Beji mulai mengembangkan pencak silat bandrong dari wilayah Gunung Santri yang juga merupakan tempat tinggalnya. Gunung Santri masa kini menjadi bagian dari Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang.
Di sana terdapat pusara terakhir Syekh Muhammad Soleh, pendakwah Islam yang juga murid Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ayahanda Sultan Banten pertama.
Ki Beji menurunkan ilmu silatnya kepada beberapa orang murid. Dua sosok yang paling dikenal adalah kakak beradik, Ki Sarap dan Ki Ragil.
Keduanya turut menyebarkan bandrong sampai akhir hayatnya di daerah Pulo Kali. Makam mereka berdua di Kahal, Serang hingga kini masih diziarahi para pesilat bandrong.
Cukup berbeda dari yang pertama, versi kedua menyimpulkan bahwa pencak silat bandrong merupakan hasil polesan Ki Pecut.
Ki Beji menurut versi ini dikenal sebagai pendekar yang melahirkan aliran silat terumbu. Versi inilah yang menyatakan bahwa kelahiran bandrong nyaris bersamaan dengan silat terumbu.
Ki Beji adalah orang kepercayaan Maulana Hasanudin, Sultan Banten pertama. Ia memercayakan pelatihan bela diri prajuritnya di sejumlah wilayah kepada Ki Beji yang beraliran terumbu.
Termasuk wilayah jangkauan Ki Beji, meliputi Bojanegara, Puloampel, Ciwandan, Pulo Merak, dan sebagian Karangantu.
Namun khusus wilayah Bojanegara, Pulo Ampel, dan Ciwandan, kepemimpinan paguron diambil alih oleh Ki Pecut.
Sosok ini kemudian mengembangkan aliran silat terumbu sedemikian rupa, hingga melahirkan aliran baru yang kelak dikenal sebagai pencak silat bandrong.
Seiring berjalannya waktu, pencak silat bandrong makin kaya akan khasanah gerakan. Berbagai aliran lain masuk dan menanamkan sebagian unsur-unsurnya pada seni ketangkasan dan bela diri satu ini.
Salah satu yang paling diingat adalah ketika jagoan kwitang Betawi, Bang Imi berduel dengan Ki Marip, pendekar bandrong Pulo Kali.
Adu ilmu berakhir setelah Ki Marip berhasil menjatuhkan Bang Imi dalam sekejap. Dasar pendekar besar, pertarungan ternyata malah membuat keduanya menjadi dekat, bahkan turut memengaruhi khasanah silat bandrong.
Dalam perjalanannya bukan hanya Bang Imi yang menularkan unsur silat kwitang. Beberapa aliran bela diri lain, sebut saja silat cimande, beksi, merpati putih, bahkan kung fu juga memberi warna-warna baru yang memperkaya khasanah gerakan pencak silat bandrong.