Kritis – Apakah OCD termasuk gangguan jiwa? Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) adalah sejenis gangguan mental. Orang dengan OCD memiliki pikiran dan dorongan yang tidak dapat dikendalikan dan berulang (obsesi), serta perilaku (paksaan) kompulsif.
Daftar Isi
Memahami OCD pada anak
OCD adalah suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan adanya pikiran cemas yang tidak terkontrol terhadap sesuatu alias obsesif.
Hal ini akan menyebabkan pengidapnya melakukan sesuatu secara kompulsif atau berulang-ulang, agar rasa cemasnya hilang.
Banyak penelitian yang mendukung adanya hipotesis bahwa disregulasi serotonin berpengaruh pada pembentukan gejala gangguan obsesif–kompulsif, tetapi serotonin sebagai penyebab gangguan obsesif kompulsif masih belum jelas.
Genetik juga diduga berpengaruh untuk terjadinya gangguan obsesif–kompulsif dimana ditemukan perbedaan yang bermakna antara kembar monozigot dan dizigot.
Faktor Tingkah Laku
Menurut teori, obsesi adalah stimulus yang terkondisi. Sebuah stimulus yang relatif netral diasosiasikan dengan rasa takut atau cemas melalui proses pengkondisian responden yaitu dengan dihubungkan dengan peristiwa–peristiwa yang menimbulkan rasa cemas atau tidak nyaman.
Kompulsi terjadi dengan cara yang berbeda.
Ketika seseorang menyadari bahwa perbuatan tertentu dapat mengurangi kecemasan akibat obsesif, orang tersebut mengembangkan suatu strategi penghindaran aktif dalam bentuk kompulsi atau ritual untuk mengendalikan kecemasan tersebut. Secara perlahan, karena efikasinya dalam mengurangi kecemasan, strategi penghindaran ini menjadi suatu pola tetap dalam kompulsi.
Faktor Psikososial
Menurut Sigmund Frued, gangguan obsesif – kompulsif bisa disebabkan karena regresi dari fase anal dalam fase perkembangannya.
Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang peranan pada beberapa manifestasi gangguan obsesif – kompulsi. Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi alas an timbulnya pikiran berulang untuk menyakiti orang tersebut.
Gejala pasien gangguan obsesif–kompulsif mungkin berubah sewaktu–waktu tetapi gangguan ini mempunyai empat pola gejala yang paling sering ditemui, yaitu:
Kontaminasi, Obsesi akan kontaminasi biasanya diikuti oleh pembersihan atau kompulsi menghindar dari objek yang dirasa terkontaminasi. Objek yang ditakuti biasanya sulit untuk dihindari, misalnya feces, urine, debu, atau kuman.
Keraguan Patologis, Obsesi ini biasanya diikuti oleh kompulsi pemeriksaan berulang. Pasien memiliki keraguan obsesif dan merasa selalu merasa bersalah tentang melupakan sesuatu atau melakukan sesuatu.
Pemikiran yang Mengganggu, Obsesi ini biasanya meliputi pikiran berulang tentang tindakan agresif atau seksual yang salah oleh pasien.
Simetri, Kebutuhan untuk simetri atau ketepatan akan menimbulkan kompulsi kelambanan. Pasien membutuhkan waktu berjam – jam untuk menghabiskan makanan atau bercukur.
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala – gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua–duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut – turut.
Gejala – gejala obsesif harus mencakup hal–hal berikut:
Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas).
Gagasan , bayangan pikiran atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan depresi.
Penderita gangguan obsesif–kompulsif sering kali juga menunjukkan gejala depresi dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran–pikiran obsesif selama episode depresinya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala – gejala yang timbul terlebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif
kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif–kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer.
Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.
Gejala obsesif sekunder yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.
PENATALAKSANAAN
Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan gangguan obsesif–kompulsif antara lain terapi farmakologi (farmakoterapi) dan terapi tingkah laku. Kombinasi kedua bentuk terapi tersebut memberikan hasil yang lebih efektif daripada terapi tunggal.
Farmakoterapi
Dua kelompok obat – obatan yang terbukti efektif untuk terapi pada pasien gangguan obsesif – kompulsif adalah SSRI antara lain fuoxetine, fluvoxamine, paroxetine, setraline, dan TCA yaitu clomipramine.
Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku untuk gangguan obsesif–kompulsif meliputi paparan dan pencegahan ritual. Pada terapi ini pasien dipaparkan dengan stimuli yang memprovokasi obsesinya misalnya dengan menyentuh objek yang terkontaminasi dan juga pasien ditahan untuk tidak kompulsi misalnya menunda mencuci tangan.
Terapi tingkah laku ini dimulai dengan pasien membuat daftar tentang obsesinya kemudian diatur sesuai hierarki mulai dari yang kurang membuat cemas sampai yang paling membuat cemas.
Dengan melakukan paparan berulang terhadap stimulus diharapkan akan menghasilkan kecemasan yang minimal karena adanya habituasi.