Kritis – Belakangan ini masyarakat banyak diresahkan oleh tersebarnya berita hoax, berita palsu, dan berita isu yang tidak jelas kebenarannya. Berita-berita itu tersebar di berbagai media cetak maupun media elektronik di Indonesia, dan yang paling gencar pada media sosial.
Daftar Isi
Beberapa personal dan oknum yang tidak bertanggung jawab sengaja membuat berita hoax dengan berbagai maksud. Ada motif untuk menjatuhkan pihak lawan, mencemarkan nama baik, mencari kontroversi (dengan dalih ketenaran), sampai mengunggulkan dan mempromosikan golongan atau kelompok tertentu.
Media publik sengaja meramaikan dengan isu hoax sebagai legitimasi agar masyarakat percaya bahwa dengan keadaan yang diberitakan itu, media yang sejatinya esensi itu justru menjadi sensasi. Senggol sana senggol sini merupakan keadaan realita yang menimpa dunia media di Indonesia.
Isu radikalisme in-toleran di tengah masyarakat Indonesia
Masalah lain yang menjadi viral saat ini juga berasal dari maraknya isu radikalisme in-toleran di tengah masyarakat Indonesia. Isu agama dijadikan alasan sebagai alat untuk mengacaukan kebhinekaan dan stabilitas politik. Keyakinan yang buta (taklid) dan budaya ikut-ikutan tampaknya juga dijadikan kesempatan oleh organisasi massa (ormas) untuk tidak bertanggungjawab untuk ikut menyebarluaskan paham radikalisme.
Di tengah keadaan yang seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia dituntut untuk senantiasa selektif dan self help dalam memilah dan memilih dan atau mendengarkan berita-berita yang beredar.
Cara mencegah, menangkal berita hoax dan isu-isu radikalisme
Salah satu langkah yang efektif untuk mencegah atau menangkal berita hoax dan isu-isu radikalisme itu antara lain dengan menggunakan critical thinking (berpikir kritis), yaitu metode berpikir dengan cara skeptis, analitis, dan praktis untuk mengidentifikasi prasangka-prasangka, berita bias (isu keberpihakan), propaganda, kebohongan, distorsi (penyesatan), misinformasi (informasi yang salah), terhadap media yang sedang diberitakan (FK UNS, 2014: 1).
Critical thinking
Selama ini, critical thinking hanya digunakan sebatas pada dunia akademis, birokrasi dan dunia kedokteran. Namun, mengingat kondisi jagad media di negeri ini, seperti yang terurai diatas, rasanya critical thinking perlu untuk diberdayakan dan dikedepankan.
Kemudian, gagasan baru untuk mengimplementasikan critical thinking itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam rencana jangka pendek, critical thinking dapat dilakukan dengan membentuk sekelompok ”kaum literasi” untuk menulis opini di media massa (koran, buletin, majalah dan berita lain) di Indonesia.
Cara menyikapi berita hoax
Kaum literasi ini akan menggunakan diskusi Sokrates, yaitu suatu diskusi dengan pemecahan isu masalah terkini, kemudian mengintegrasikannya ke dalam sebuah tulisan. Latihan ini mencakup pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mencetuskan pemikiran kritis (FK UNS, 2014:4).
Dalam jangka panjang, critical thinking dapat dijadikan sebagai sebuah mata pelajaran pada sekolah atau mata kuliah pada perguruan tinggi.
Cara ini dipandang sangat efektif, dimana guru dan atau dosen mengajarkan critical thinking melalui daya kritis siswa dan mahasiswa, kemudian mengomparasikannya ke dalam pembenaran fakta dari berita hoax dan radikalisme.
Khusus untuk mahasiswa, kelompok status ini tidak hanya berperan sebagai agent of change, tetapi juga sekaligus bisa berperan sebagai distribution of change yang merupakan penyebaran secara menyeluruh kepada masyarakat.
Kemudian, jika cara jangka panjang dapat dilakukan, maka eksistensi berita hoax dan penanaman faham radikalisme tersebut kiranya akan sulit dilakukan. Ini untuk menjaga integrasi dan kebhinekaan negara kita, Indonesia. Semoga. (*)
Praktik hoax dan hate speech
Hoax merupakan efek saming dari era keterbukaan, yang memiliki pelunang untuk menciptakan perpecahan dan permusuhan karena dapat membuat masyarakat bingung akan sebuah kebenaran informasi.
Pengguna aktif media sosial saat ini umumnya adalah para remaja, mereka terbiasa untuk berkomentar, berbagi dan memberikan kritik di media sosial.
Dengan kebiasaan ini dapat memicu terjadinya hoax karna penyampaian berita yang tidak pasti kebenarannya dan cenderung melakukan hate speech bagi konten yang tidak disukainya.
kebebasan berbicara itu harus dikontrol secara hati-hati dengan mengedepankan etika dan norma yang ada.
Saat ini, publik bebas mengeluarkan pendapat dan menyebarkan informasi apapun melalui media sosial tanpa harus ada verifikasi dan validasi. Ini dampaknya berbahaya jika informasi yang disampaikannya tidak benar dan berisikan kebencian.
Untuk melawan hoax, lembaga penyiaran harus senantiasa menyajikan informasi yang akurat dan kredibel
Lembaga penyiaran juga harus berperan menjaga kohesitas sosial, dengan tidak menyebarkan informasi dengan muatan sara apalagi yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Sebaliknya lembaga penyiaran perlu menyampaikan berita yang mampu membangun optismisme publik.
Dalam kesempatan itu, Hardly meminta media mainstream khususnya lembaga penyiaran untuk senantiasa berpedoman pada kode etik jurnalistik dan P3SPS KPI, agar informasi yang disajikan kepada masyarakat berkualitas.
Laporan Hoax kemana?
Pengguna bisa melakukan screen capture disertai url link, kemudian mengirimkan data ke aduankonten@mail.kominfo.go.id. Kiriman aduan segera diproses setelah melalui verifikasi. Kerahasiaan pelapor dijamin dan aduan konten dapat dilihat di laman web trustpositif.kominfo.go.id.
Penebar Hoax Bisa Dijerat Segudang Pasal
Benebar hoax akan dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Ujaran kebencian ini meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.
Bicara hoax itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subyek obyek yang dirugikan. Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 28 ayat 2 itu berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”