Sejarah

Menelusuri Keajaiban Bissu: Pendeta Bugis yang Eksis Sebelum Islam

×

Menelusuri Keajaiban Bissu: Pendeta Bugis yang Eksis Sebelum Islam

Sebarkan artikel ini

Pendeta Bugis atau yang dikenal sebagai “Bissu” adalah salah satu keajaiban budaya Sulawesi Selatan yang telah eksis jauh sebelum Islam menyentuh pulau ini pada abad ke-13. Dalam artikel ini, kami akan membahas secara mendalam tentang Bissu, peran mereka dalam masyarakat Bugis kuno, dan bagaimana eksistensi mereka dipengaruhi oleh masuknya Islam. Mari kita mulai perjalanan ke dalam dunia yang penuh dengan keunikan dan spiritualitas ini.

Keberadaan Bissu: Meta-Gender atau Gender-Transcendent

Bissu bukanlah sekadar manusia yang mengubah gender, mereka adalah meta-gender atau gender-transcendent. Dalam masyarakat Bugis, konsep gender jauh lebih kompleks dibandingkan dengan pandangan umum di Indonesia yang hanya mengenal dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Di antara konsep-konsep gender unik ini terdapat “oroané” (pria), “makkunrai” (wanita), “calalai” (priawan), “calabai” (waria), dan tentu saja, “bissu.”

Identitas Gender yang Sangat Spesial

Apa yang membuat Bissu begitu istimewa adalah bahwa mereka memiliki kombinasi jenis kelamin yang tidak lazim. Beberapa di antara mereka terlahir interseks, dengan alat kelamin yang ambigu. Namun, terlepas dari aspek biologis ini, hampir semua Bissu memiliki penampilan yang ambigu gender atau androgini. Keunikan ini diyakini memberikan mereka kekuatan spiritual khusus, menjadikan mereka pilar spiritual dalam masyarakat Bugis.

Peran Utama dalam Istana Kerajaan

Selama berabad-abad, Bissu adalah bagian integral dari istana kerajaan di Sulawesi Selatan. Mereka bukan hanya penasihat spiritual bagi raja, tetapi juga penjaga protokol dan pelaksana ritual suci dalam berbagai acara penting seperti pernikahan, kelahiran, pengobatan, dan waktu panen. Bissu tinggal di istana kerajaan dan diberikan tanah serta sawah untuk penghidupan mereka. Meskipun jumlah Bissu bervariasi, setiap kerajaan memiliki kepala dan wakil Bissu. Dalam upacara besar, partisipasi setidaknya 40 pendeta Bissu diperlukan.

BACA JUGA:  Kisah Pemimpin Pasukan dari Demak yang Berhasil Menguasai Cirebon

Ritual dan Kemampuan Khusus

Bissu memiliki peran penting dalam melaksanakan ritual bagi para bangsawan. Mereka juga mengurusi pusaka suci kerajaan, yang dikenal sebagai “arajang.” Dalam menjalankan tugas-tugas ini, mereka mengenakan pakaian androgini yang mencerminkan atribut laki-laki dan perempuan. Ritual Bissu melibatkan kontak dengan dunia roh, dan mereka dipercaya dapat kerasukan arwah dewata untuk memberikan berkat. Proses ini melibatkan ritual yang rumit dengan bunyian, sesajen, dan tarian.

Keunikan dalam Kemampuan Kebal

Salah satu aspek yang sangat menarik tentang Bissu adalah kemampuan mereka untuk menjadi “kebal” setelah kerasukan arwah dewata. Hanya Bissu yang kebal yang berhak memberikan berkat dalam berbagai upacara, mulai dari kelahiran hingga pengobatan. Keberadaan arwah dalam tubuh mereka membuat mereka memiliki wewenang yang besar dalam masyarakat Bugis.

Pengaruh Islam pada Kehidupan Bissu

Masuknya Islam di Sulawesi secara signifikan memengaruhi kehidupan para Bissu yang awalnya adalah penjaga kepercayaan lokal masyarakat Bugis. Pertemuan antara ajaran dan budaya baru ini membawa banyak perubahan dan ketegangan dalam komunitas Bissu.

Islam dan Pendekatan Tasawuf

Pada awalnya, kedatangan Islam tidak menjadi masalah besar bagi komunitas Bissu. Salah satu strategi yang digunakan dalam menyebarkan ajaran Islam di suku Bugis adalah dengan mengedepankan pendekatan tasawuf. Pendekatan ini dapat mengakomodasi kepercayaan lokal, dan pada saat itu, Islam dijalankan dengan negosiasi kultural oleh para pengikutnya.

Perubahan dalam Pergerakan Bissu

Namun, seiring berjalannya waktu, ajaran Islam semakin mendominasi, dan perlahan tapi pasti membatasi pergerakan Bissu. Masyarakat Bugis mulai meninggalkan identitas asli mereka, tanpa menyadari bahwa hal ini akan memengaruhi eksistensi Bissu.

Perubahan dalam Upacara dan Peran Bissu

Perubahan terlihat dalam berbagai upacara Bissu yang tadinya sangat kompleks. Sebagai contoh, upacara “mappaliki” di Segeri, yang sebelum Islam datang, berlangsung selama 40 hari dan 40 malam, kemudian disederhanakan menjadi hanya 7 hari dan 7 malam. Peran Bissu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat juga mulai digantikan oleh pemuka agama Islam.

BACA JUGA:  Manusia Purba Hidup Berpindah-Pindah Disebabkan oleh Apa?

Akhir dari Era Bissu

Kepala Bissu terakhir dari Segeri meninggal pada tahun 2011, dan sejak itu, belum ada pengangkatan penggantinya. Keberadaan Bissu perlahan surut dari kehidupan budaya Bugis di Sulawesi Selatan.

Masa Kelam Bissu

Sejarah mencatat masa kelam dalam kehidupan komunitas Bissu. Ketika kelompok Kahar Muzakkar berusaha memisahkan diri dari Republik Indonesia untuk membentuk negara Islam DI/TII pada tahun 1950-an, para Bissu menjadi korban. Seluruh praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dimusnahkan, termasuk Bissu.

Operasi Toba dan Pembersihan

Operasi Toba, yang merupakan bagian dari upaya ini, melibatkan pembakaran perlengkapan upacara ritual Bissu dan bahkan penenggelaman mereka ke laut. Banyak Bissu dan sanro (dukun) tewas dalam periode ini. Kelompok Muzakkar menganggap praktik Bissu sebagai penyembahan berhala dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dituduh sebagai Bagian dari PKI

Selama Peristiwa 1965, yang berujung pada pembersihan elemen PKI, komunitas Bissu juga menjadi target. Mereka dituduh sebagai bagian dari PKI karena dianggap melakukan perbuatan yang dianggap syirik. Otoritas keagamaan Bugis yang sebelumnya dipegang oleh Bissu mulai meredup karena dominasi Islam sebagai agama utama.

Kesimpulan: Eksistensi dan Pengaruh Bissu yang Mengagumkan

Eksistensi Bissu adalah salah satu peninggalan berharga dari sejarah Sulawesi Selatan yang memikat banyak orang. Mereka adalah lambang kompleksitas gender dalam masyarakat Bugis kuno dan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga tradisi dan spiritualitas. Meskipun terdapat tantangan dan perubahan dalam perjalanan panjang mereka, cerita Bissu tetap menjadi bagian integral dari warisan budaya Sulawesi Selatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *